Obat Rindu
19 February 2015
Edit
Ketika dada sesak, hati pilu, pikiran tak menentu, ada hal yang buatku ingin meneteskan air mata. Diri yang tak kuasa menahan perasaan yang hadir begitu menyesakkan, hanya mampu menangis kala itu.
Kala rindu menyeruak dalam qalbu. Namun aku hanya berada di batas harap, hanya mampu merintih tanpa bisa mengungkapkan dalam bahasa hati dan merengkuh dalam dekapan nyata. Andai saja berandai-andai itu tak salah, maka aku berharap andai waktu terulang kembali. Kan kuukir semua cerita indah bersamamu yang kini begitu kurindukan. Namun kusadar, itu hanya angan yang takkan disampaikan angin padanya.
Dalam sejuta tanyaku yang tak ada satu pun mampu menjawabnya, aku mulai diam. Tersadar akan alam nyata yang harus kuhadapi. Bukan mimpi yang semata menjadi bunga tidur. Aku harus kembali menatap masa depan yang menantiku, berusaha menggapai citaku yang tlah kuukir bersamanya. Bukan diam tanpa aksi. Bukan dengan air mata yang mulai membeku.
Aku pun malu akan semua fikir yang sempat terlintas dalam benak. Karena kuyakin ada yang mampu menjawab semua tanyaku yang melangit. Ya, ada Allah yang paling setia menemani hari-hariku meski tanpa ia yang kurindukan. Tapi, yakinku, Allah kan menyampaikan semua kata rinduku melalui bahasa terindah-Nya.
* * *
Pagi itu, tepat tiga hari setelah Ibu pergi, aku sudah berada di rumah tempat aku berbagi kasih bersama orang-orang terkasih.
Seperti biasa, kesibukan di pagi hari mulai terlihat, seperti mentari yang sibuk menghangatkan bumi. Kakak yang bersiap berangkat kerja, adik-adik yang siap berangkat sekolah. Sementara aku sibuk mempersiapkan kebutuhan saudar-saudaraku agar tidak terlambat menunaikan amanahnya. Namun, dalam sekejap saja kesibukan itu sirna, berganti hening di dalam rumah.
“Alhamdulillah, beres sudah tugasku. Semoga mereka baik-baik saja sampai pulang kembali,” ucapku di depan pintu rumah, menatap kakak dan adik-adikku serempak berangkat menuju tempat pencarian ilmunya masing-masing.
Masih di depan pintu, ketika tatapan mataku berhenti di ujung gang yang mengakhiri tatapanku, karena sosok mereka sudah hilang tertelan arah. Aku masih menatap jalanan itu, melihat lalu lalang kendaraan di pagi hari yang tak kalah sibuknya dengan aktifitas para pengguna jalanan itu. Tak sadar, rupanya ada sekitar sepuluh menit aku berdiri di sana.
Seketika aku tersenyum mengingat wajah saudara-saudara yang amat kusayangi itu. Mereka telah membuat hari-hariku indah dan penuh warna. “Terima kasih ya Allah, telah memberiku teman hidup di dunia. Bersama merekalah kuukir semua kisah yang indah, meski terkadang ada haru…..”
Tak berapa lama, senyum itu hilang. Kembali mataku tertuju pada jalanan yang semakin sibuk. Ada haru yang mulai hadir. Sejenak kupejamkan mata, dan meneteslah air mata yang tak mampu kutahan.
Kembali terbayang sosoknya. Kembali teringat kenangan-kenangan bersamanya.
Setiap pagi, ibulah yang selalu paling awal bangun. Ketika anak-anaknya masih terlelap. Di saat bulan mulai hilang, ibu sudah siap dengan semua aktifitas hariannya. Bangun, sholat, membuka jendela, memasak, dan mempersiapkan semua keperluan anak-anaknya. Usai subuh, ibu mulai membangunkan anak-anaknya dengan penuh kelembutan. Mengetuk pintu kamar, masuk dengan perlahan dan membelai kepalaku dengan lembut.
“Sayang, ayo bangun, solat subuh, mandi dan bersiap-siap sebelum adik-adikmu bangun,’ ucapnya sambil duduk di atas tempat tidurku, di sampingku.
“Hm,, iya Bu… jam berapa sekarang?” tanyaku setelah membaca doa dalam hati.
“Sudah jam empat lebih, tuh ayam tetangga udah bangun duluan dari tadi, eh putri ibu yang cantik ini kok masih tidur, malu dong sama ayam...” jawab ibu sambil bercanda, membuatku sedikit tertawa hingga hilanglah rasa kantukku.
“Baik ibuku yang cantik, Shafa laksanakan semua perintah…” kataku sambil berdiri dan siap menuju kamar mandi. Kutatap sekilas wajah ibu yang masih berada di dalam kamar. ‘Hm, beruntung aku memiliki ibu seperti ibu yang selalu mengingatkan aku untuk gesit dalam semua hal, meski terkadang sering kulanggar,’ batinku.
Usai semua anggota keluarga bangun dan siap dengan semua peralatan sekolahnya, ibu sudah menghidangkan sarapan yang begitu lezat. Meski hanya dengan telor dadar ditambah kecap dan nasi hangat, tapi terasa nikmat dimakan bersama orang tersayang.
“Bu, kami berangkat sekolah dulu, doakan kami ya, Assalamualaikum,” ucapku pamit sambil mencium tangan ibu diikuti oleh kakak dan adik-adikku.
“Iya Nak, hati-hati, ibu doakan semoga lancar dan mendapat ilmu yang bermanfaat,
Waalaikumsalam Warohmatulloh,” jawabmu mengiringi kami berangkat sekolah.
Ah, betapa indahnya saat-saat itu.
Kini, aku berdiri di tempat yang sama dengan ibu ketika mengantar kami sampai di depan pintu rumah. Dan di depan pintu ini jugalah ibu menanti kami pulang kembali.
Keharuan kembali menyeruak dalam qalbu. ‘Oh ibu, mengapa kau pergi begitu cepat? Aku kini sendiri di sini. Tak mampu mengganti posisimu sebagai seorang ibu bagi kakak dan adik-adikku’.
Setetes permata bening jatuh di pipiku. Hangat. Kunikmati suasana kebersamaanku dengan ibu. Kubayangkan tangan lembut ibu mengusap air mata yang menghiasi pipi. Tapi kusadar itu hanya sebuah bayang yang takkan pernah terjadi lagi.
Rindu!
Aku benar-benar merindukkan ibu. Sekilas kutatap halaman rumah. Tanaman-tanaman kesayangan ibu, yang setiap pagi selalu disiramnya seolah ikut merasakan apa yang kini tengah kurasakan. Dedaunan melambaikan rindunya, berharap tangan ibu kembali menyapanya dengan air yang menyejukkan.
Semua yang kulihat di halaman, mengingatkanku pada ibu.
Tak ingin berlama-lama dalam kedukaan, mulai kututup pintu rumah, berharap duka itu segera tertutup. Namun, tatkala aku berbalik arah, semua yang kutatap di dalam rumah kembali membuka kenangan-kenangan kebersamaan itu.
Kursi yang biasa ibu duduki ketika menonton TV untuk sekedar berkumpul bersama anak-anaknya, pintu kamar yang sering dilewatinya, dapur tempat ia memasak penuh cinta, meja makan tempat ia menghidangkan makanan-makanan terlezat, sudut-sudut rumah, semua begitu haru. Hening.
Oh ibu, kini tak ada lagi yang mampu menghangatkan rumah ini dengan kasih sayang seorang wanita mulia sepertimu.
Ibu, ingin rasanya saat ini aku memelukmu. Menangis di pangkuanmu. Mengungkapkan semua rinduku…
Tapi apa dayaku?
Kau tlah tiada…
Kupejamkan mataku sesaat, kurasakan dirimu masih ada di sini. Tersenyum padaku, membelai lembut kepalaku, mencium keningku. Indahnya.
Namun, ketika kubuka mata, tak ada!
Ibu tak ada di sini…
kucari ibu di setiap sudut rumah. Tak ada!
Dimana ibuku?
Dimana ibu yang begitu kusayang?
Aku ingin ibu… aku rindu ibu….
Aku berlari menuju kamar, ibu tak ada disana!
Ibu…
Tangisku mulai deras, hatiku basah, tanganku gemetar, tubuhku lemas, dan aku pun terduduk pasrah di atas lantai.
“Ya Allah…aku meridukannya….” Ucapku lirih.
Masih dalam tangis yang belum reda, aku teringat sesuatu…
“Allah…”
“Engkaulah yang Maha menghidupkan dan Engkau pula yang berhak mengambil setiap makhluk yang Kau ciptakan…”
“Allah…Engkau yang menghadirkan ibu untuk kusayang, dan Engkau pula yang meniadakkannya…”
Pikiranku mulai mengingat-Nya Yang Maha memiliki.
Sejenak aku terdiam. Hening.
Kemudian bangkit, menuju kamar mandi lalu mengambil air wudhu. Sejuk rasanya, ketika air itu menerpa jemariku, kuusap wajah, ada ketenangan yang kurasakan. Kuusap rambut, membuat pikiran terasa jernih. Hingga akhir, kubaca doa seusai wudhu. Damai rasanya.
Mulai kuatur nafas. Sesak yang tadi kurasakan, kini mulai hilang berganti lega. Kugelar sejadah, dan mulailah aku bermunajah. Sujud panjang di pagi yang mulai hangat itu memberi sebuah kedamaian.
“Duhai Allah Sang Pemilik jiwa, maafkan hamba yang sempat melupakan-Mu. Maafkan hamba yang sering lalai terhadap-Mu. Kini, hamba-Mu yang lemah ini memohon penuh kesungguhan…”
Ya Rahmaan, Ya Rahiim, aku titipkan rindu yang memburu, pada-Mu… Aku ikhlas Ya Rabb… Sebesar apapun sayangku pada ibu, kutahu Engkau jauh lebih menyayanginya… Karena itu aku rela jika ibu pergi, bukan untuk meninggalkanku, tapi untuk bertemu dengan-Mu… Dalam permohonan yang kecil ini, hamba berharap Engkau dapat mempertemukan kami kembali di tempat terbaik, di Surga-Mu…
Meski kusadar, siapalah diri ini? Meminta Surga-Mu, sementara langkahku jauh menujunya… Tapi aku tak sanggup masuk neraka-Mu, tempat yang tak ingin kusinggahi walau sebentar, membayangkannya pun aku tak sanggup! Ya Rabb…
Tapi, dalam munajahku yang sederhana ini, aku berharap penuh harap pada-Mu… ampuni dosa-dosaku, dosa kedua orangtuaku, dosa kakak dan adik-adikku, serta dosa hamba-hamba yang mencintai-Mu… Tunjukkan jalan terbaik-Mu Ya Lathif, jangan biarkan hamba tersesat dan terjerat dalam kubangan hitam itu.
Rabb, kuyakin Engkau Maha Penyayang dan kusampaikan sayangku ini pada ibu dan ayah yang kini semakin dekat dengan-Mu… Jika ada kebaikan yang kulakukan, semoga kebaikannya mengalir kepada mereka. Tempatkan mereka pada tempat terbaik di sisi-Mu… di Surga-Mu… Amiin Ya Rabbal’alamiin….
Kuakhiri munajahku dengan sujud kepasrahan.
Betapa damainya hati ini. Kini kutahu jawabannya. Meski ibu telah tiada, tapi ia masih ada di sini, di hatiku… Doaku selalu untukmu, ayah dan ibuku….
Dari aku yang merindukanmu…..
Kini, setiap aku merindukkan ibu, atau orang-orang yang kusayang, aku akan mengambil air wudhu yang menyejukkan qalbu, dan mulai kupanjatkan doa. Karena kuyakin, doa adalah pengantar ungkapan setiap rindu. Doa yang tulus dari hati, akan dikabulkan oleh Allah Al-Mujib, Yang maha mengabulkan setiap doa.
Ungkapan rindu itu akan tersampaikan pada ia yang kita rindukan, dengan cara-Nya… Cara-Nya yang terindah… seindah bait-bait doa yang kita sampaikan pada-Nya yang maha indah….
Baca Semua Episodenya ...
Kala rindu menyeruak dalam qalbu. Namun aku hanya berada di batas harap, hanya mampu merintih tanpa bisa mengungkapkan dalam bahasa hati dan merengkuh dalam dekapan nyata. Andai saja berandai-andai itu tak salah, maka aku berharap andai waktu terulang kembali. Kan kuukir semua cerita indah bersamamu yang kini begitu kurindukan. Namun kusadar, itu hanya angan yang takkan disampaikan angin padanya.
Dalam sejuta tanyaku yang tak ada satu pun mampu menjawabnya, aku mulai diam. Tersadar akan alam nyata yang harus kuhadapi. Bukan mimpi yang semata menjadi bunga tidur. Aku harus kembali menatap masa depan yang menantiku, berusaha menggapai citaku yang tlah kuukir bersamanya. Bukan diam tanpa aksi. Bukan dengan air mata yang mulai membeku.
Aku pun malu akan semua fikir yang sempat terlintas dalam benak. Karena kuyakin ada yang mampu menjawab semua tanyaku yang melangit. Ya, ada Allah yang paling setia menemani hari-hariku meski tanpa ia yang kurindukan. Tapi, yakinku, Allah kan menyampaikan semua kata rinduku melalui bahasa terindah-Nya.
* * *
Pagi itu, tepat tiga hari setelah Ibu pergi, aku sudah berada di rumah tempat aku berbagi kasih bersama orang-orang terkasih.
Seperti biasa, kesibukan di pagi hari mulai terlihat, seperti mentari yang sibuk menghangatkan bumi. Kakak yang bersiap berangkat kerja, adik-adik yang siap berangkat sekolah. Sementara aku sibuk mempersiapkan kebutuhan saudar-saudaraku agar tidak terlambat menunaikan amanahnya. Namun, dalam sekejap saja kesibukan itu sirna, berganti hening di dalam rumah.
“Alhamdulillah, beres sudah tugasku. Semoga mereka baik-baik saja sampai pulang kembali,” ucapku di depan pintu rumah, menatap kakak dan adik-adikku serempak berangkat menuju tempat pencarian ilmunya masing-masing.
Masih di depan pintu, ketika tatapan mataku berhenti di ujung gang yang mengakhiri tatapanku, karena sosok mereka sudah hilang tertelan arah. Aku masih menatap jalanan itu, melihat lalu lalang kendaraan di pagi hari yang tak kalah sibuknya dengan aktifitas para pengguna jalanan itu. Tak sadar, rupanya ada sekitar sepuluh menit aku berdiri di sana.
Seketika aku tersenyum mengingat wajah saudara-saudara yang amat kusayangi itu. Mereka telah membuat hari-hariku indah dan penuh warna. “Terima kasih ya Allah, telah memberiku teman hidup di dunia. Bersama merekalah kuukir semua kisah yang indah, meski terkadang ada haru…..”
Tak berapa lama, senyum itu hilang. Kembali mataku tertuju pada jalanan yang semakin sibuk. Ada haru yang mulai hadir. Sejenak kupejamkan mata, dan meneteslah air mata yang tak mampu kutahan.
Kembali terbayang sosoknya. Kembali teringat kenangan-kenangan bersamanya.
Setiap pagi, ibulah yang selalu paling awal bangun. Ketika anak-anaknya masih terlelap. Di saat bulan mulai hilang, ibu sudah siap dengan semua aktifitas hariannya. Bangun, sholat, membuka jendela, memasak, dan mempersiapkan semua keperluan anak-anaknya. Usai subuh, ibu mulai membangunkan anak-anaknya dengan penuh kelembutan. Mengetuk pintu kamar, masuk dengan perlahan dan membelai kepalaku dengan lembut.
“Sayang, ayo bangun, solat subuh, mandi dan bersiap-siap sebelum adik-adikmu bangun,’ ucapnya sambil duduk di atas tempat tidurku, di sampingku.
“Hm,, iya Bu… jam berapa sekarang?” tanyaku setelah membaca doa dalam hati.
“Sudah jam empat lebih, tuh ayam tetangga udah bangun duluan dari tadi, eh putri ibu yang cantik ini kok masih tidur, malu dong sama ayam...” jawab ibu sambil bercanda, membuatku sedikit tertawa hingga hilanglah rasa kantukku.
“Baik ibuku yang cantik, Shafa laksanakan semua perintah…” kataku sambil berdiri dan siap menuju kamar mandi. Kutatap sekilas wajah ibu yang masih berada di dalam kamar. ‘Hm, beruntung aku memiliki ibu seperti ibu yang selalu mengingatkan aku untuk gesit dalam semua hal, meski terkadang sering kulanggar,’ batinku.
Usai semua anggota keluarga bangun dan siap dengan semua peralatan sekolahnya, ibu sudah menghidangkan sarapan yang begitu lezat. Meski hanya dengan telor dadar ditambah kecap dan nasi hangat, tapi terasa nikmat dimakan bersama orang tersayang.
“Bu, kami berangkat sekolah dulu, doakan kami ya, Assalamualaikum,” ucapku pamit sambil mencium tangan ibu diikuti oleh kakak dan adik-adikku.
“Iya Nak, hati-hati, ibu doakan semoga lancar dan mendapat ilmu yang bermanfaat,
Waalaikumsalam Warohmatulloh,” jawabmu mengiringi kami berangkat sekolah.
Ah, betapa indahnya saat-saat itu.
Kini, aku berdiri di tempat yang sama dengan ibu ketika mengantar kami sampai di depan pintu rumah. Dan di depan pintu ini jugalah ibu menanti kami pulang kembali.
Keharuan kembali menyeruak dalam qalbu. ‘Oh ibu, mengapa kau pergi begitu cepat? Aku kini sendiri di sini. Tak mampu mengganti posisimu sebagai seorang ibu bagi kakak dan adik-adikku’.
Setetes permata bening jatuh di pipiku. Hangat. Kunikmati suasana kebersamaanku dengan ibu. Kubayangkan tangan lembut ibu mengusap air mata yang menghiasi pipi. Tapi kusadar itu hanya sebuah bayang yang takkan pernah terjadi lagi.
Rindu!
Aku benar-benar merindukkan ibu. Sekilas kutatap halaman rumah. Tanaman-tanaman kesayangan ibu, yang setiap pagi selalu disiramnya seolah ikut merasakan apa yang kini tengah kurasakan. Dedaunan melambaikan rindunya, berharap tangan ibu kembali menyapanya dengan air yang menyejukkan.
Semua yang kulihat di halaman, mengingatkanku pada ibu.
Tak ingin berlama-lama dalam kedukaan, mulai kututup pintu rumah, berharap duka itu segera tertutup. Namun, tatkala aku berbalik arah, semua yang kutatap di dalam rumah kembali membuka kenangan-kenangan kebersamaan itu.
Kursi yang biasa ibu duduki ketika menonton TV untuk sekedar berkumpul bersama anak-anaknya, pintu kamar yang sering dilewatinya, dapur tempat ia memasak penuh cinta, meja makan tempat ia menghidangkan makanan-makanan terlezat, sudut-sudut rumah, semua begitu haru. Hening.
Oh ibu, kini tak ada lagi yang mampu menghangatkan rumah ini dengan kasih sayang seorang wanita mulia sepertimu.
Ibu, ingin rasanya saat ini aku memelukmu. Menangis di pangkuanmu. Mengungkapkan semua rinduku…
Tapi apa dayaku?
Kau tlah tiada…
Kupejamkan mataku sesaat, kurasakan dirimu masih ada di sini. Tersenyum padaku, membelai lembut kepalaku, mencium keningku. Indahnya.
Namun, ketika kubuka mata, tak ada!
Ibu tak ada di sini…
kucari ibu di setiap sudut rumah. Tak ada!
Dimana ibuku?
Dimana ibu yang begitu kusayang?
Aku ingin ibu… aku rindu ibu….
Aku berlari menuju kamar, ibu tak ada disana!
Ibu…
Tangisku mulai deras, hatiku basah, tanganku gemetar, tubuhku lemas, dan aku pun terduduk pasrah di atas lantai.
“Ya Allah…aku meridukannya….” Ucapku lirih.
Masih dalam tangis yang belum reda, aku teringat sesuatu…
“Allah…”
“Engkaulah yang Maha menghidupkan dan Engkau pula yang berhak mengambil setiap makhluk yang Kau ciptakan…”
“Allah…Engkau yang menghadirkan ibu untuk kusayang, dan Engkau pula yang meniadakkannya…”
Pikiranku mulai mengingat-Nya Yang Maha memiliki.
Sejenak aku terdiam. Hening.
Kemudian bangkit, menuju kamar mandi lalu mengambil air wudhu. Sejuk rasanya, ketika air itu menerpa jemariku, kuusap wajah, ada ketenangan yang kurasakan. Kuusap rambut, membuat pikiran terasa jernih. Hingga akhir, kubaca doa seusai wudhu. Damai rasanya.
Mulai kuatur nafas. Sesak yang tadi kurasakan, kini mulai hilang berganti lega. Kugelar sejadah, dan mulailah aku bermunajah. Sujud panjang di pagi yang mulai hangat itu memberi sebuah kedamaian.
“Duhai Allah Sang Pemilik jiwa, maafkan hamba yang sempat melupakan-Mu. Maafkan hamba yang sering lalai terhadap-Mu. Kini, hamba-Mu yang lemah ini memohon penuh kesungguhan…”
Ya Rahmaan, Ya Rahiim, aku titipkan rindu yang memburu, pada-Mu… Aku ikhlas Ya Rabb… Sebesar apapun sayangku pada ibu, kutahu Engkau jauh lebih menyayanginya… Karena itu aku rela jika ibu pergi, bukan untuk meninggalkanku, tapi untuk bertemu dengan-Mu… Dalam permohonan yang kecil ini, hamba berharap Engkau dapat mempertemukan kami kembali di tempat terbaik, di Surga-Mu…
Meski kusadar, siapalah diri ini? Meminta Surga-Mu, sementara langkahku jauh menujunya… Tapi aku tak sanggup masuk neraka-Mu, tempat yang tak ingin kusinggahi walau sebentar, membayangkannya pun aku tak sanggup! Ya Rabb…
Tapi, dalam munajahku yang sederhana ini, aku berharap penuh harap pada-Mu… ampuni dosa-dosaku, dosa kedua orangtuaku, dosa kakak dan adik-adikku, serta dosa hamba-hamba yang mencintai-Mu… Tunjukkan jalan terbaik-Mu Ya Lathif, jangan biarkan hamba tersesat dan terjerat dalam kubangan hitam itu.
Rabb, kuyakin Engkau Maha Penyayang dan kusampaikan sayangku ini pada ibu dan ayah yang kini semakin dekat dengan-Mu… Jika ada kebaikan yang kulakukan, semoga kebaikannya mengalir kepada mereka. Tempatkan mereka pada tempat terbaik di sisi-Mu… di Surga-Mu… Amiin Ya Rabbal’alamiin….
Kuakhiri munajahku dengan sujud kepasrahan.
Betapa damainya hati ini. Kini kutahu jawabannya. Meski ibu telah tiada, tapi ia masih ada di sini, di hatiku… Doaku selalu untukmu, ayah dan ibuku….
Dari aku yang merindukanmu…..
Kini, setiap aku merindukkan ibu, atau orang-orang yang kusayang, aku akan mengambil air wudhu yang menyejukkan qalbu, dan mulai kupanjatkan doa. Karena kuyakin, doa adalah pengantar ungkapan setiap rindu. Doa yang tulus dari hati, akan dikabulkan oleh Allah Al-Mujib, Yang maha mengabulkan setiap doa.
Ungkapan rindu itu akan tersampaikan pada ia yang kita rindukan, dengan cara-Nya… Cara-Nya yang terindah… seindah bait-bait doa yang kita sampaikan pada-Nya yang maha indah….