Anda Pengunjung ke-

Kuda Perang yang Berlari Kencang

Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,
dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),
dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
QS. al-‘Adiyat (100) : 1-8

    Kutipan terjemahan surat Al-‘Adiyat di atas selalu mengingatkanku pada peristiwa bersejarah yang akan selalu terkenang. Sebuah peristiwa yang kualami sendiri, antara hidup dan mati. Sungguh ketika itu hanya pasrah dan berserah diri pada Allah swt. yang dapat kulakukan. Peristiwa yang menjadikan hidupku lebih berarti dan semakin menambah kesyukuranku pada-Nya. Peristiwa yang rasanya ingin terulang lagi hingga menambah kecintaanku pada Sang Pencipta juga pada orang-orang yang kucintai dan mencintaiku karena-Nya.
 Kutipan terjemahan surat Al-‘Adiyat di atas selalu mengingatkanku pada peristiwa bersejarah yang akan selalu terkenang. Sebuah peristiwa yang kualami sendiri, antara hidup dan mati.

* * *




    Tepat 15 Agustus 2014, seorang bayi laki-laki terlahir setelah sekian lama dinantikan kehadirannya. Perasaan bahagia bercampur haru menyelimuti hatiku juga suamiku tercinta. Meskipun jauh-jauh hari sebelum putra pertama kami lahir, banyak kekhawatiran yang membebani hati dan pikiran kami. Bahkan vonis dokter sempat menjadikanku drop.
    “Kalau tidak mau caessar, paling di-vacum saja agar tidak perlu mengejan terlalu kuat,” kata dokter ketika melakukan pemeriksaan rutin di Rumah Sakit. Jelas saja aku kaget dan tak percaya kalau aku tidak bisa melahirkan normal layaknya ibu lain yang dapat lahiran normal dan lancar. Dari sana, kekhawatiranku semakin bertambah, apalagi setelah mendengar kabar bahwa adikku juga melahirkan dengan cara operasi caessar. Alasannya karena mata minus yang sudah tinggi dan berat bayi yang terlampau besar.

    “Yang, mataku juga minus tinggi, aku takut kalau nanti aku juga tidak bisa melahirkan secara normal,” ucapku dengan nada lemah. Terlebih aku juga pernah membaca artikel di internet tentang hubungan mata minus dan proses melahirkan yang membuatku semakin bertambah khawatir.

    “Sabar sayang, kita tidak pernah tahu akan takdir Allah yang belum terjadi, tapi yang perlu kita yakini bahwa rencana-Nya selalu indah... bahkan lebih indah dari yang kita bayangkan,” nasihat suamiku menenangkan.

    ‘Rabb... terima kasih Engkau telah mengirimkan seseorang yang begitu baik dan menyayangiku, serta mampu membuatku tenang di kala kegelisahan melanda hatiku...’ syukurku dalam hati. Ketika itu, aku mulai mencoba menenangkan hati dan pikiran serta menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Mengatur. Benar kata suamiku, seindah-indah rencana kita, jauh lebih indah rencana Allah untuk kita.

    Aku sering berkomunikasi dengan putraku yang masih di dalam kandungan, sebab pernah ku dengar sebauah nasihat bahwa bayi bisa mendengarkan suara-suara yang ada di luar rahim. Karena itu, saat-saat yang paling menyenangkan adalah ketika aku berkomunikasi dengan putraku, membacakan Al-Qur’an, juga kuajak dia berdo’a bersama. “Assalamu’alaikum sayang, sedang apa sekarang di sana, Nak? Kita berdo’a sama-sama yuk, semoga Allah memberikan kesehatan untukmu dan bunda. Jadikan anak bunda ini anak yang sholeh, baik, pintar, dan bisa memberi bahagia untuk semua orang... Aamiin,” ucapku sambil mengelus-elus perut yang semakin membesar.

    “Nak, nanti bantu bunda ya, agar dapat lahiran dengan lancar dan normal... Bunda tahu kau anak yang pintar. Kita berjuang sama-sama ya sayang...” Kuyakinkan diri dan putraku untuk percaya atas segala kuasa-Nya. Di samping itu, aku sering membaca buku tentang kehamilan dan proses melahirkan. Dari sana banyak ilmu yang kuperoleh. Keluarga, sanak saudara juga sahabat-sahabatku sering memberi masukan dan motivasi. Bahkan rekan kerjaku pun tak ketinggalan. Mereka yang telah memiliki pengalaman sebelumnya banyak memberi nasihat untukku.

    “Dulu menjelang lahiran, aku sering membaca Surat Al-‘Adiyat yang artinya kuda perang yang berlari kencang dan alhamdulillah proses lahiranku sangat cepat dan lancar. Seperti kuda yang berlari kencang, anakku lahir dengan begitu mudah,” kata rekan kerjaku. Aku pun mencoba mengamalkannya,
kutanamkan niat dan tekad dalam hati bahwa aku juga bisa melahirkan normal.

    Ketika di Rumah Sakit, sambil menunggu panggilan untuk pemeriksaan, aku ceritakan kisah rekan kerjaku tadi pada suamiku. Dia sangat senang melihatku optimis dan semangat kembali. Akhirnya kami membaca surat tersebut bersama berulang-ulang sampai bidan memanggil namaku. Setelah mendengar vonis dari dokter kandungan sebelumnnya, kami memang memutuskan untuk pindah pemeriksaan pada dokter kandungan lain. Katanya dokter ini adalah dokter langganan almarhumah ibuku dulu.

    “Dok, apa benar mata minus dapat mempengaruhi proses persalinan sehingga tidak dapat melahirkan normal?” tanyaku pada dokter tersebut. Sang dokter bukannya langsung menjawab, malah tertawa seolah-olah menyangkal apa yang aku tanyakan.

    “Kata siapa itu? Mata minus sama sekali tidak ada hubungannya dengan proses melahirkan, kecuali orang yang memang memiliki penyakit kronis sebelumnya,” jawab dokter itu dengan sisa tawanya. Perkataan dokter itu pun di’iya’kan oleh bidan yang ikut memeriksaku. Setelah selesai, akhirnya aku merasakan sebuah beban dan ketakutan yang selama ini membayang-bayangiku kini hilang seketika. Kucapkan terima kasih kepada dokter itu dan pada suamiku yang telah memberiku motivasi.

    Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat, aku pun menikmati setiap detik yang kulalui dengan penuh pengharapan dan kesyukuran pada-Nya. Usia kandunganku sudah semakin dekat dengan hari perkiraan lahiran. Berbagai persiapan telah aku lakukan menyambut hari bahagia itu, mulai dari persiapan fisik hingga persiapan batin. Sungguh, tiada yang lebih menenangkan hati selain berharap hanya pada-Nya, memasrahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa.

    Pagi itu, seperti biasa aku bangun dan mempersiapkan sarapan serta kebutuhan suami dan adik-adikku yang akan berangkat ke sekolah. Namun ada yang berbeda ketika itu, tidak biasanya perutku terasa begitu sakit, rasanya tak tertahankan. Aku merasakan tanda-tanda akan melahirkan, namun karena aku belum berpengalaman, kucoba menelpon saudaraku dan menanyakan tentang kondisiku. Saudaraku mengatakan bahwa memang itu adalah tanda akan melahirkan, dia menyarankan untuk segera berangkat ke rumah sakit. Melihatku begitu kesakitan, suamiku langsung menghubungi temannya yang bekerja di rumah sakit.

    Dengan begitu sigap, suamiku mengantarkanku ke rumah sakit walaupun kulihat di wajahnya ada raut kekhawatiran. Saat itu, meski kesakitan, aku merasakan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Perhatian dan pengorbanan suamiku begitu membuatku terharu dan bahagia. ‘Ya Rahmaan...berikanlah kebahagiaan untuk suami hamba...’

    Kunikmati setiap detik yang berlalu, rasa sakit yang semakin lama semakin hebat sempat membuatku tak berdaya, namun suami di sampingku terus memberikan motivasi dan do’anya. Bahkan dia menuntunku untuk membaca surat Al-‘adiyat bersama-sama. Kugenggam erat tangannya, tangan yang selama ini menguatkanku, tangan yang telah berjuang begitu keras untuk menafkahiku, yang selalu menuntun dan membimbingku untuk berjalan bersama menuju ridho-Nya. Kupandangi wajahnya, kutatap matanya, dan kukatakan padanya, “Aku mencintaimu karena Allah, suamiku...”

    Tak lama sejak aku dipindahkan ke ruang persalinan, bidan-bidan telah bersiap membantu persalinanku. Sakit luar biasa yang aku rasakan, membuatku semakin pasrah dan berserah diri pada-Nya. ‘Rabb, apapun yang terjadi, kuserahkan semuanya pada-Mu, hanya Engkaulah Sang Maha Pengasih...’.

Ternyata benar, melahirkan itu rasanya antara hidup dan mati. Tiba-tiba aku teringat dengan ibuku yang telah tiada, betapa perjuangannya sungguh takkan tergantikan oleh apapun. ‘Maafkan aku yang tak sempat membahagiakanmu, Bu...’

Tak ada yang mampu kuucapkan ketika itu selain dzikir pada-Nya, menyebut asma-Nya. Bidan membimbingku untuk mengejan dengan baik dan membantu proses persalinanku. Ternyata tak butuh waktu yang lama, aku mendengar suara tangis seorang bayi yang telah terlahir. Tepat pukul 09.54 WIB, putra pertamaku lahir. Bulir air mata menetes tak tertahan di pipiku. Haru dan bahagia yang kurasakan saat itu. ‘Terima kasih Ya Allah... Kau telah sempurnakan aku sebagai seorang perempuan, menjadi seorang ibu dari amanah yang Kau titipkan...’

Suamiku pun tak kalah bahagianya, ia tersungkur penuh rasa syukur mengagungkan asma-Nya. Setelah itu ia mendekatiku dan kulihat wajahnya begitu berseri, memandangku dengan pandangan penuh cinta. “Terima kasih sayang...” ucapnya sambil membelai kepalaku. Kebahagiaan kami kini telah lengkap dengan hadirnya buah hati tercinta.

Bidan segera datang membawa putraku, kugendong ia untuk pertama kalinya. “Bu, alhamdulillah, ibu dapat melahirkan normal, bahkan sangat lancar, selamat ya bu...” ucap bidan yang pernah memeriksaku sebelumnya. Senyum pun kukembangkan padanya.

“Ya Allah... terima kasih untuk semua kemudahan dalam persalinanku dan untuk segala nikmat yang telah Engkau berikan...”

* * *

    Itulah sepenggal kisah tentang peristiwa yang akan selalu terkenang dan selalu kusyukuri. Terima kasih kepada semua keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberiku motivasi. Terutama kepada suamiku yang selalu setia bersama dalam susah maupun senang, juga untuk anakku tersayang ‘Ziyad’ permata hatiku semoga menjadi anak yang sholeh dan dapat menjadi kebanggaan untuk keluarga, agama, dan negara.

I love u all, because Allah... ^_^ 

0 Response to "Kuda Perang yang Berlari Kencang"

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel