Ujian di Dalam Ujian
16 April 2015
Edit
Di ruang kelas yang begitu luas ini aku merasa sempit, tersudut, bahkan hampir tak bisa bernafas. Di sekelilingku tiga puluh empat pasang mata tengah mengawasi gerikku dan menanti kata yang akan keluar dari mulutku. Suasana masih hening, namun aku merasakan gemuruh emosi yang begitu keras dari mereka. Aku masih saja tak bergeming. Kucoba untuk tetap tenang agar tidak terbawa emosi.
“Keputusanku tetap sama,” ucapku dengan nada halus. Namun, mereka menimpali ucapanku barusan dengan nada kasar dan sumpah serapah.
“Baiklah, kalau kamu masih ngotot, mulai saat ini kamu bukan bagian dari kami lagi!” tegas sang ketua kelas. Mendengarnya, ada setetes air mata yang mengalir di pipiku. Tetap saja, sekuat apapun diriku, tapi hati ini tak dapat dibohongi. Meskipun kini aku tak dianggap bagian dari anggota kelas lagi, namun bagiku mereka tetap keluargaku. Sejujurnya, aku sangat menyayangi mereka, teman-temanku yang telah berjuang bersama selama tiga tahun di sekolah ini.
Satu per satu mereka mulai melangkah pergi meninggalkan aku sendiri di ruangan ini. Matahari senja sudah menyeruak masuk melalui kaca jendela. Kakiku yang sejak tadi berdiri menahan beban mulai lemas. Aku pun akhirnya terjatuh dan tersungkur di lantai yang membisu.
“Rabb, mengapa harus ada akhir yang menyedihkan? Kutahu, betapa lemahnya aku, tak mampu mengajak teman-temanku untuk mempertahankan nilai kejujuran seperti yang dimiliki oleh Rasulullah. Aku malu ya Rabb...malu kepada-Mu, malu kepada Kekasih-Mu, bahkan malu kepada diriku sendiri yang tak mampu menjalankan amanah-Mu.”
Saat senja mulai berganti petang dan langit pun telah merona, aku pun beranjak menuju rumah. Tak kupedulikan peluh yang masih mengalir, saat ini yang ingin kulakukan adalah segera mengambil air wudhu, berdo’a, dan mengadukan semua pada-Nya. Hanya Dia tempatku berkeluh kesah dan mencurahkan segala isi hatiku. Malam ini kuhabiskan waktuku hanya berdua dengan-Nya, Allah Sang Maha Penyayang.
Sejenak, terkenang olehku beberapa waktu yang telah lalu, saat aku mulai menginjakkan kaki di sekolahku tercinta. Seragam putih abu yang kubanggakan juga mimpi yang kugantungkan setinggi mungkin menjadi motivasi untukku bersaing di sekolah bergengsi ini. Namun, semua ambisi perlahan mulai surut saat aku mengenal Rohis, sebuah ekstrakulikuler yang bergerak dalam bidang kerohanian Islam. Di sana aku belajar banyak tentang agamaku dan Penciptaku.
Aku mulai memahami pentingnya niat dalam mengawali segala hal yang akan dilakukan. Sekecil dan seringan apapun pekerjaan itu harus dilandasi niat karena Allah semata. Karena ketika Allah ridho dengan hal yang kita kerjakan, maka balasannya adalah surga. Sementara jika niat karena dunia, maka kita hanya mendapatkan yang kita tuju saja namun tidak sampai ke akhirat. Sebab itulah, aku mulai mencoba untuk meluruskan niat. Merevisi kembali mimpi-mimpiku, bukan sekedar dunia yang kutuju, namun ridho-Nyalah yang kudamba.
Sejak saat itulah idealismeku mulai tumbuh. Aku ingin Allah ridho atas semua amal yang kukerjakan, termasuk dalam hal ujian. Meski banyak cibiran yang kuterima, namun aku tak berpaling sedikit pun dari-Nya. Biarlah cibiran manusia di dunia, asal Allah tersenyum dan kuperoleh hadiah dari-Nya di surga nanti.
Awalnya teman-temanku mempermasalahkan atas sikap idealisku yang ingin jujur saat ujian berlangsung. Namun, lama-kelamaan mereka mulai memahami akan prinsipku tersebut. Dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas kujalani prinsipku itu walau banyak rintangan yang kuhadapi. Tetapi, ada yang berbeda ketika sekarang akan menghadapi Ujian Nasional. Teman-teman bahkan rasanya seisi sekolah tak mendukungku untuk berbuat jujur.
“Rabb, inikah ujian yang sesungguhnya dari-Mu untukku? Kutahu, ini bukan hanya tentang Ujian Nasional, namun lebih dari itu. Ini adalah Ujian Keimanan. Karena itu, kumohon dengan sepenuh hati, mudahkanlah...”
* * *
Hari ini Ujian Nasional dimulai, kucoba menenangkan hati dan pikiranku. Ada sedikit kedamaian setelah kucurahkan segala isi hatiku pada-Nya. Kujalani setiap detik-detik ujian dengan penuh kesungguhan dan ketenanga. Meski tak ada seorang pun di kelas yang menyapaku, namun aku tetap bersikap ramah seperti biasanya kepada mereka.
“Rabb, bukakanlah pintu hatiku dan pintu hidayah untuk teman-teman yang kucintai karena-Mu...” doaku di dalam hati.
Suasana di kelas benar-benar tak terkondisikan. Berkali-kali aku mengucap istighfar ketika melihat pemandangan di sekelilingku. Peserta ujian yang saling menyontek, pengawas yang tidak melaksanakan tugasnya, serta beberapa ‘oknum’ yang dengan mudahnya memberikan kunci jawaban bahkan di saat ujian belum dimulai. Betapa sedihnya hati melihat semua kejadian ini.
Hari demi hari telah terlewati, Ujian Nasional pun telah usai. Namun doaku pada-Nya takkan pernah berhenti, terus mengalir selama nafas masih berhembus.
“Tunjukkan jalan terbaik untukku Ya Allah...”
Hasil memang bukan segalanya, tetapi proses yang akan menunjukkan betapa berharganya setiap detik yang terlewati. Ketika semua menjauhiku, biarlah yang penting Allah selalu bersamaku. Aku yakin, Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Nilai kejujuran harus ditanamkan sejak dini, karena ia akan terus mengakar sampai tua. Begitu pula sebaliknya.
Yakinlah, Allah begitu dekat, maka memohonlah hanya kepada-Nya...
“Keputusanku tetap sama,” ucapku dengan nada halus. Namun, mereka menimpali ucapanku barusan dengan nada kasar dan sumpah serapah.
“Baiklah, kalau kamu masih ngotot, mulai saat ini kamu bukan bagian dari kami lagi!” tegas sang ketua kelas. Mendengarnya, ada setetes air mata yang mengalir di pipiku. Tetap saja, sekuat apapun diriku, tapi hati ini tak dapat dibohongi. Meskipun kini aku tak dianggap bagian dari anggota kelas lagi, namun bagiku mereka tetap keluargaku. Sejujurnya, aku sangat menyayangi mereka, teman-temanku yang telah berjuang bersama selama tiga tahun di sekolah ini.
Satu per satu mereka mulai melangkah pergi meninggalkan aku sendiri di ruangan ini. Matahari senja sudah menyeruak masuk melalui kaca jendela. Kakiku yang sejak tadi berdiri menahan beban mulai lemas. Aku pun akhirnya terjatuh dan tersungkur di lantai yang membisu.
“Rabb, mengapa harus ada akhir yang menyedihkan? Kutahu, betapa lemahnya aku, tak mampu mengajak teman-temanku untuk mempertahankan nilai kejujuran seperti yang dimiliki oleh Rasulullah. Aku malu ya Rabb...malu kepada-Mu, malu kepada Kekasih-Mu, bahkan malu kepada diriku sendiri yang tak mampu menjalankan amanah-Mu.”
Saat senja mulai berganti petang dan langit pun telah merona, aku pun beranjak menuju rumah. Tak kupedulikan peluh yang masih mengalir, saat ini yang ingin kulakukan adalah segera mengambil air wudhu, berdo’a, dan mengadukan semua pada-Nya. Hanya Dia tempatku berkeluh kesah dan mencurahkan segala isi hatiku. Malam ini kuhabiskan waktuku hanya berdua dengan-Nya, Allah Sang Maha Penyayang.
Sejenak, terkenang olehku beberapa waktu yang telah lalu, saat aku mulai menginjakkan kaki di sekolahku tercinta. Seragam putih abu yang kubanggakan juga mimpi yang kugantungkan setinggi mungkin menjadi motivasi untukku bersaing di sekolah bergengsi ini. Namun, semua ambisi perlahan mulai surut saat aku mengenal Rohis, sebuah ekstrakulikuler yang bergerak dalam bidang kerohanian Islam. Di sana aku belajar banyak tentang agamaku dan Penciptaku.
Aku mulai memahami pentingnya niat dalam mengawali segala hal yang akan dilakukan. Sekecil dan seringan apapun pekerjaan itu harus dilandasi niat karena Allah semata. Karena ketika Allah ridho dengan hal yang kita kerjakan, maka balasannya adalah surga. Sementara jika niat karena dunia, maka kita hanya mendapatkan yang kita tuju saja namun tidak sampai ke akhirat. Sebab itulah, aku mulai mencoba untuk meluruskan niat. Merevisi kembali mimpi-mimpiku, bukan sekedar dunia yang kutuju, namun ridho-Nyalah yang kudamba.
Sejak saat itulah idealismeku mulai tumbuh. Aku ingin Allah ridho atas semua amal yang kukerjakan, termasuk dalam hal ujian. Meski banyak cibiran yang kuterima, namun aku tak berpaling sedikit pun dari-Nya. Biarlah cibiran manusia di dunia, asal Allah tersenyum dan kuperoleh hadiah dari-Nya di surga nanti.
Awalnya teman-temanku mempermasalahkan atas sikap idealisku yang ingin jujur saat ujian berlangsung. Namun, lama-kelamaan mereka mulai memahami akan prinsipku tersebut. Dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas kujalani prinsipku itu walau banyak rintangan yang kuhadapi. Tetapi, ada yang berbeda ketika sekarang akan menghadapi Ujian Nasional. Teman-teman bahkan rasanya seisi sekolah tak mendukungku untuk berbuat jujur.
“Rabb, inikah ujian yang sesungguhnya dari-Mu untukku? Kutahu, ini bukan hanya tentang Ujian Nasional, namun lebih dari itu. Ini adalah Ujian Keimanan. Karena itu, kumohon dengan sepenuh hati, mudahkanlah...”
* * *
Hari ini Ujian Nasional dimulai, kucoba menenangkan hati dan pikiranku. Ada sedikit kedamaian setelah kucurahkan segala isi hatiku pada-Nya. Kujalani setiap detik-detik ujian dengan penuh kesungguhan dan ketenanga. Meski tak ada seorang pun di kelas yang menyapaku, namun aku tetap bersikap ramah seperti biasanya kepada mereka.
“Rabb, bukakanlah pintu hatiku dan pintu hidayah untuk teman-teman yang kucintai karena-Mu...” doaku di dalam hati.
Suasana di kelas benar-benar tak terkondisikan. Berkali-kali aku mengucap istighfar ketika melihat pemandangan di sekelilingku. Peserta ujian yang saling menyontek, pengawas yang tidak melaksanakan tugasnya, serta beberapa ‘oknum’ yang dengan mudahnya memberikan kunci jawaban bahkan di saat ujian belum dimulai. Betapa sedihnya hati melihat semua kejadian ini.
Hari demi hari telah terlewati, Ujian Nasional pun telah usai. Namun doaku pada-Nya takkan pernah berhenti, terus mengalir selama nafas masih berhembus.
“Tunjukkan jalan terbaik untukku Ya Allah...”
Hasil memang bukan segalanya, tetapi proses yang akan menunjukkan betapa berharganya setiap detik yang terlewati. Ketika semua menjauhiku, biarlah yang penting Allah selalu bersamaku. Aku yakin, Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Nilai kejujuran harus ditanamkan sejak dini, karena ia akan terus mengakar sampai tua. Begitu pula sebaliknya.
Yakinlah, Allah begitu dekat, maka memohonlah hanya kepada-Nya...