Bukan Sekedar Cinta
25 April 2015
Edit
Gadis kecil itu masih terduduk di samping dua gundukan tanah merah yang membisu. Bertemankan hujan yang semakin membasahi hatinya yang sendu, ia masih saja menatap nisan yang bertuliskan nama orang-orang yang begitu dicintainya. Bunga kamboja yang sedikit menghiasi gundukan tanah merah itu pun semakin layu.
Derasnya hujan, petir yang memekakan telinga dan angin yang menusuk tulang tak dipedulikannya. Kini yang ada dalam pikirannya adalah orang-orang yang selama sembilan tahun menjaganya. Di dalam hatinya masih tersimpan kasih sayang orang-orang yang dicintainya, yang kini telah tiada.
“Ayah, Ibu… Dinda rindu… Sungguh…” dalam tangisnya, ia ungkapkan seluruh gejolak batinnya. Langit pun seolah mengerti isi hatinya dan turut menangis untuknya.
Sebenarnya perasaan itu sudah lama ia pendam. Perasaan rindu yang mendalam, yang selalu mengusik hari-harinya. Ia tak tahu bagaimana harus mengobatinya, karena luka itu semakin menganga. Bukan pada dua gundukan tanah itu ia mengadu, bukan pula pada jasad yang bersembunyi di baliknya. Namun pada Sang Pemilik ruh, ia tumpahkan segalanya.
“Rabb, Engkaulah yang menciptakan mereka, Engkau pula yang berhak mengambil mereka. Karena itu, kumohon pada-Mu, sampaikan rindu ini pada mereka… sampaikan sayang ini pada ayah ibuku… sampaikan Ya Rahmaan…”
Ia tak tahu lagi pada siapa ia limpahkan semua perasaannya, selain pada Allah yang begitu dekat dengan hamba-Nya.
Entah sudah berapa lama ia berada di sana, awan gelap mulai menyelimuti bumi. Setelah semua yang mengganjal di batinnya ia ungkapkan, ia pun beranjak dari tempat itu. Ditatapnya kembali dua gundukan tanah merah yang takkan pernah bisa menjawab rindunya. Sebuah doa ia lantunkan untuk mereka yang jasanya tiada berbalas.
Saat malam mulai erat memeluk tubuhnya, ia sudah kembali berada di panti asuhan tempat tinggalnya kini. Setetes air mata kembali jatuh membasahi jilbabnya yang telah basah, tatkala ia mengingat bahwa menurutnya terlalu pagi ayah dan ibunya pergi. Apalah daya, yang pergi takkan pernah kembali lagi, kecuali jika ia temui di tempat terbaik, di surga-Nya.
Matanya yang basah belum dapat terpejam, deras air kerinduan di hatinya belum juga mereda. Dirinya sudah berada di rumah, namun pikirannya jauh meninggalkan waktu, kembali pada masa ia masih berada di pangkuan ayah ibunya, ketika purnama masih bercahaya menerangi bumi cinta.
* * *
Matahari di atas ubun-ubun selalu setia menemani langkah gadis kecil itu. Seragam putih merah yang mulai pudar dan tas gendong yang tak jelas lagi bentuknya masih ia kenakan.
“Yah… jatuh lagi pensilnya…” ucapnya sambil jongkok mengambil pensil yang nakal keluar dari lubang di tasnya. Sudah hampir enam kali ia berhenti untuk sekedar mengambil barang-barangnya yang jatuh. Karena ia sudah mulai lelah, ditambah perjalanan pulang yang masih jauh, akhirnya ia memutuskan untuk memangku tasnya dan menutup lubang itu dengan tangannya.
Setibanya di rumah, meski dengan peluh yang mengucur di dahinya, lekas ia berlari ke dalam rumah sederhana tempat tinggalnya bersama kedua orangtua yang begitu mencintainya. Sejenak ia menjinjit kakinya yang pegal karena sepatu yang sudah tak muat lagi untuk kakinya.
“Ibu…tasku bocor, peralatan sekolahku jadi loncat semua…” ucap gadis kecil itu sambil menunjukkan lubang di tasnya. Ibunya yang sedang menyiapkan makan siang berbalik menatap gadis kecil itu dan menyejajarkan duduk dengannya.
“Oh iya Nak, tapi tasnya masih bisa dipakai kan?” tanya ibu dengan nada lembut. Mendengar pertanyaan ibunya, ia cemberut karena tahu kalau ia tak bisa mendapat tas baru.
“Sini Nak, ibu coba perbaiki tasmu ya, biar bisa kembali seperti baru dibeli,” ucap ibu yang mengerti dengan perasaan anak gadisnya itu. “Wah, memangnya bisa jadi baru lagi ya bu? Seperti baru beli lagi? Mau dong bu…” ia pun segera memberikan tasnya yang rusak pada ibunya.
Akhirnya, siang itu ia habiskan bersama ibu, memperhatikan tangan ibunya yang cekatan menjahit tasnya. Ada harapan di mata anak itu, ada bahagia di hatinya, ia sangat bersyukur memiliki ibu yang begitu perhatian dan sayang padanya.
“Bu, Dinda sayang ibu…” ucapnya ketika tasnya usai diperbaiki. Ibu pun membalas dengan kecupan hangat di pipi gadis kecil itu. “Ibu juga sayang Dinda.”
Malam semakin larut, tapi Dinda kecil masih terjaga. Ia bersama ibunya menunggu ayah pulang sambil menikmati teh hangat di depan rumah. Ketika bulan mulai menunjukkan kesempurnaan bentuknya, seseorang yang dinanti pun tiba. Dengan berlari, Dinda menghampiri ayahnya dan memeluknya.
“Aduh…anak ayah yang cantik ini kok belum tidur sih…” ucap ayah sambil menggendong Dinda. “Kan nunggu ayah pulang, nunggu oleh-oleh juga…” kata Dinda sambil memperlihatkan senyum manisnya, berharap ayah memberikan oleh-oleh untuknya.
“Dinda sayang, ayah kan baru pulang, masih capek. Sini Dinda sama ibu dulu,” ibu berusaha menggendong Dinda, karena melihat suaminya yang kelelahan. “Tidak apa-apa kok bu, ini ayah punya oleh-oleh untuk Dinda,” ucap ayah membuat Dinda tersenyum girang.
Dinda selalu menunggu ayahnya pulang dan berharap membawa oleh-oleh untuknya. Seperti malam ini, ia begitu bahagia dan lagi-lagi ia mengungkapkan cintanya.
“Dinda sayang ayah…sayang ibu juga…” ucapnya.
Tapi, kebahagiaannya tak bertahan lama. Malam itu, sebuah tragedi memaksanya harus berpisah dengan ayah dan ibunya, selama-lamanya.
Ketika keluarga kecil itu sedang tertidur lelap, api menjalar dari arah samping rumah mereka. Melahap apa saja yang menghalanginya, masuk ke sela-sela dinding rumah, dan membakar semua benda seketika. Saat api sudah membesar, panasnya mulai membakar kulit, Dinda tersadar dari tidurnya. Ia menatap ke jendela kamar, kobaran api perlahan memecahkan kaca-kaca jendela. Suaranya membuat dia takut. Dinda terjebak di dalam kamar, badannya gemetar, ia hanya bisa menangis dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu api mulai masuk tanpa permisi.
Malam yang mengerikan itu, rupanya dirasakan pula oleh orang-orang di sekitar rumah mereka. Api yang tak berhati itu membakar rumah yang berderet di kompleks itu. Semua orang panik, berusaha menyelamatkan keluarganya. Tak dipikirkan barang-barang berharga yang dimakan oleh api, karena keluarga mereka lebih berharga dari apapun.
Ketika api mulai mereda atas pemadam kebakaran yang memang tak datang tepat waktu, sayup-sayup suara isak tangis terdengar di dalam rumah yang hanya tinggal puing-puing. Beberapa warga berusaha masuk dan menyelamatkan seorang anak kecil yang menangis di sudut ruangan terlindung oleh meja kayu yang kuat. Namun, para warga terlambat menyelamatkan orang tuanya yang sudah penuh dengan luka bakar.
Tragedi yang terjadi di kompleks perumahan itu, rupanya berasal dari salah satu rumah warga karena tabung gas yang meledak. Karena angin malam yang sangat besar, menyebabkan api cepat menjalar menghabiskan beberapa rumah di sekitarnya. Sudah menjadi takdir, ternyata rumah gadis itu tepat di samping rumah warga yang menjadi sumber datangnya api.
* * *
Lima tahun telah berlalu, namun ingatan tentang kejadian di malam yang mencekam itu tak pernah hilang. Dinda berusaha untuk hidup meski dengan keadaan payah. Ia berniat dalam hatinya bahwa selama ia masih bernafas, ia akan memberikan yang terbaik untuk Sang Pencipta dan orang-orang yang dicintainya.
Hidup di panti asuhan memang tak mudah. Terlebih ketika panti tempatnya tinggal tak memiliki donatur tetap, sehingga anak-anak di sana harus bekerja mencari uang. Begitu pula dengan Dinda, setiap harinya ia bekerja sebagai penjual koran di jalanan dari pagi hingga petang. Meski berat, namun ia tak pernah mengeluh, karena ibu panti yang tinggal bersama anak-anak yatim piatu di sana selalu memberikan motivasi.
“Hidup itu hanya sementara, tak apa sengsara di dunia yang penting bahagia di akhirat. Tugas kita adalah beramal sebanyak-banyaknya. Meski tak ada uang, amal bisa dilakukan dengan apapun. Niatkan semuanya untuk ibadah, Insya Allah akan ada keberkahan pada setiap apapun yang kita kerjakan,” ucap ibu panti yang sudah paruh baya usai solat berjamaah bersama anak-anak panti. Dinda tahu betul karakter ibu panti yang tak ingin mengemis pada orang-orang untuk membiayai panti asuhan. Ia telah mengajarkan untuk berjuang mencari rizki yang halal dengan keringat sendiri.
Meski begitu, melihat kondisi anak-anak panti di sana, Dinda tidak tinggal diam. Ia memiliki mimpi agar anak-anak itu dapat meraih cita-cita mereka. Ia yakin, masa depan mereka sangat cerah. Mereka memliki hak untuk memperoleh pendidikan dan hidup layak. Mimpinya itu bukan sekedar mimpi saja, namun ia berusaha untuk mewujudkannya.
Dinda memang anak yang cerdas, sejak duduk di bangku sekolah dasar dulu, ia selalu mendapat ranking pertama. Walaupun kini ia tak melanjutkan sekolah, namun wawasan Dinda sangat luas. Jelas saja, setiap hari ia melahap berita dan informasi dari koran-koran yang dijualnya. Mulai berita dalam negeri sampai mancanegara. Topik yang paling dia minati adalah seputar dunia pendidikan. Sampai suatu saat ia berinisiatif untuk menulis surat kepada Menteri Pendidikan, mengetuk pintu hatinya agar dapat membantu anak-anak di Panti Asuhan.
Awalnya ia hanya mengirimkan surat satu kali dalam sebulan. Namun, karena tak kunjung ada balasan, akhirnya ia mengirim surat setiap minggu bahkan setiap hari. Ia berharap menteri pendidikan dapat membaca surat-suratnya dan mengubah wajah dunia pendidikan di negerinya.
Suatu hari, saat pulang bekerja pada senja yang indah, ia melihat ada sebuah mobil bagus berhenti di halaman panti. Ibu panti menyambut kedatangan beberapa orang berpakaian sangat rapi dengan ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ucap ibu panti setelah menjawab salam dari mereka.
“Kami mencari anak yang bernama Adinda Purnama. Apakah betul dia salah satu anak asuh di panti ini?” Ucap salah seorang di antara mereka yang membawa sebuah map.
“Iya betul, Dinda tinggal di sini. Ada apa ya?” ucap ibu panti agak khawatir.
“Kami mencarinya, bisa tolong panggilkan dia kemari?” pinta orang itu lagi. Tak lama Dinda datang ditemani ibu panti.
“Nak, apa benar kamu yang mengirim surat kepada Bapak Menteri Pendidikan setiap hari?” tanyanya lagi. Dinda menjawab dengan anggukan.
“Kami dari Dinas Pendidikan Kota mendapat amanat dari Bapak Menteri untuk menyerahkan surat balasan ini untukmu,” ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop putih berisi tulisan tangan dari Menteri Pendidikan.
“Alhamdulillah... Ternyata Bapak Menteri membaca surat-suratku, Terima kasih Pak telah mengantarkan ini untukku,” ucap Dinda dengan senyum yang mengembang.
“Iya Nak, kami juga membawa bantuan berupa seragam sekolah, buku-buku, serta beasiswa pendidikan untuk anak-anak di sini. Sekarang kalian dapat bersekolah dan meraih cita-cita setinggi langit,” ucap bapak itu ramah.
Ibu panti yang berada di samping Dinda menangis terharu dan bangga pada anak asuhnya itu. Begitu pula dengan Dinda, akhirnya mimpinya akan segera terwujud. Ia yakin bahwa dengan kesungguhan, usaha yang kuat, serta doa yang tulus semua dapat diraih. Di dalam hatinya ia berdoa, semoga apapun amal kebaikan yang ia kerjakan, pahalanya dapat mengalir untuk kedua orang tuanya hingga ia dapat berkumpul kembali di surga bersama mereka yang ia cintai karena Allah.
Derasnya hujan, petir yang memekakan telinga dan angin yang menusuk tulang tak dipedulikannya. Kini yang ada dalam pikirannya adalah orang-orang yang selama sembilan tahun menjaganya. Di dalam hatinya masih tersimpan kasih sayang orang-orang yang dicintainya, yang kini telah tiada.
“Ayah, Ibu… Dinda rindu… Sungguh…” dalam tangisnya, ia ungkapkan seluruh gejolak batinnya. Langit pun seolah mengerti isi hatinya dan turut menangis untuknya.
Sebenarnya perasaan itu sudah lama ia pendam. Perasaan rindu yang mendalam, yang selalu mengusik hari-harinya. Ia tak tahu bagaimana harus mengobatinya, karena luka itu semakin menganga. Bukan pada dua gundukan tanah itu ia mengadu, bukan pula pada jasad yang bersembunyi di baliknya. Namun pada Sang Pemilik ruh, ia tumpahkan segalanya.
“Rabb, Engkaulah yang menciptakan mereka, Engkau pula yang berhak mengambil mereka. Karena itu, kumohon pada-Mu, sampaikan rindu ini pada mereka… sampaikan sayang ini pada ayah ibuku… sampaikan Ya Rahmaan…”
Ia tak tahu lagi pada siapa ia limpahkan semua perasaannya, selain pada Allah yang begitu dekat dengan hamba-Nya.
Entah sudah berapa lama ia berada di sana, awan gelap mulai menyelimuti bumi. Setelah semua yang mengganjal di batinnya ia ungkapkan, ia pun beranjak dari tempat itu. Ditatapnya kembali dua gundukan tanah merah yang takkan pernah bisa menjawab rindunya. Sebuah doa ia lantunkan untuk mereka yang jasanya tiada berbalas.
Saat malam mulai erat memeluk tubuhnya, ia sudah kembali berada di panti asuhan tempat tinggalnya kini. Setetes air mata kembali jatuh membasahi jilbabnya yang telah basah, tatkala ia mengingat bahwa menurutnya terlalu pagi ayah dan ibunya pergi. Apalah daya, yang pergi takkan pernah kembali lagi, kecuali jika ia temui di tempat terbaik, di surga-Nya.
Matanya yang basah belum dapat terpejam, deras air kerinduan di hatinya belum juga mereda. Dirinya sudah berada di rumah, namun pikirannya jauh meninggalkan waktu, kembali pada masa ia masih berada di pangkuan ayah ibunya, ketika purnama masih bercahaya menerangi bumi cinta.
* * *
Matahari di atas ubun-ubun selalu setia menemani langkah gadis kecil itu. Seragam putih merah yang mulai pudar dan tas gendong yang tak jelas lagi bentuknya masih ia kenakan.
“Yah… jatuh lagi pensilnya…” ucapnya sambil jongkok mengambil pensil yang nakal keluar dari lubang di tasnya. Sudah hampir enam kali ia berhenti untuk sekedar mengambil barang-barangnya yang jatuh. Karena ia sudah mulai lelah, ditambah perjalanan pulang yang masih jauh, akhirnya ia memutuskan untuk memangku tasnya dan menutup lubang itu dengan tangannya.
Setibanya di rumah, meski dengan peluh yang mengucur di dahinya, lekas ia berlari ke dalam rumah sederhana tempat tinggalnya bersama kedua orangtua yang begitu mencintainya. Sejenak ia menjinjit kakinya yang pegal karena sepatu yang sudah tak muat lagi untuk kakinya.
“Ibu…tasku bocor, peralatan sekolahku jadi loncat semua…” ucap gadis kecil itu sambil menunjukkan lubang di tasnya. Ibunya yang sedang menyiapkan makan siang berbalik menatap gadis kecil itu dan menyejajarkan duduk dengannya.
“Oh iya Nak, tapi tasnya masih bisa dipakai kan?” tanya ibu dengan nada lembut. Mendengar pertanyaan ibunya, ia cemberut karena tahu kalau ia tak bisa mendapat tas baru.
“Sini Nak, ibu coba perbaiki tasmu ya, biar bisa kembali seperti baru dibeli,” ucap ibu yang mengerti dengan perasaan anak gadisnya itu. “Wah, memangnya bisa jadi baru lagi ya bu? Seperti baru beli lagi? Mau dong bu…” ia pun segera memberikan tasnya yang rusak pada ibunya.
Akhirnya, siang itu ia habiskan bersama ibu, memperhatikan tangan ibunya yang cekatan menjahit tasnya. Ada harapan di mata anak itu, ada bahagia di hatinya, ia sangat bersyukur memiliki ibu yang begitu perhatian dan sayang padanya.
“Bu, Dinda sayang ibu…” ucapnya ketika tasnya usai diperbaiki. Ibu pun membalas dengan kecupan hangat di pipi gadis kecil itu. “Ibu juga sayang Dinda.”
Malam semakin larut, tapi Dinda kecil masih terjaga. Ia bersama ibunya menunggu ayah pulang sambil menikmati teh hangat di depan rumah. Ketika bulan mulai menunjukkan kesempurnaan bentuknya, seseorang yang dinanti pun tiba. Dengan berlari, Dinda menghampiri ayahnya dan memeluknya.
“Aduh…anak ayah yang cantik ini kok belum tidur sih…” ucap ayah sambil menggendong Dinda. “Kan nunggu ayah pulang, nunggu oleh-oleh juga…” kata Dinda sambil memperlihatkan senyum manisnya, berharap ayah memberikan oleh-oleh untuknya.
“Dinda sayang, ayah kan baru pulang, masih capek. Sini Dinda sama ibu dulu,” ibu berusaha menggendong Dinda, karena melihat suaminya yang kelelahan. “Tidak apa-apa kok bu, ini ayah punya oleh-oleh untuk Dinda,” ucap ayah membuat Dinda tersenyum girang.
Dinda selalu menunggu ayahnya pulang dan berharap membawa oleh-oleh untuknya. Seperti malam ini, ia begitu bahagia dan lagi-lagi ia mengungkapkan cintanya.
“Dinda sayang ayah…sayang ibu juga…” ucapnya.
Tapi, kebahagiaannya tak bertahan lama. Malam itu, sebuah tragedi memaksanya harus berpisah dengan ayah dan ibunya, selama-lamanya.
Ketika keluarga kecil itu sedang tertidur lelap, api menjalar dari arah samping rumah mereka. Melahap apa saja yang menghalanginya, masuk ke sela-sela dinding rumah, dan membakar semua benda seketika. Saat api sudah membesar, panasnya mulai membakar kulit, Dinda tersadar dari tidurnya. Ia menatap ke jendela kamar, kobaran api perlahan memecahkan kaca-kaca jendela. Suaranya membuat dia takut. Dinda terjebak di dalam kamar, badannya gemetar, ia hanya bisa menangis dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu api mulai masuk tanpa permisi.
Malam yang mengerikan itu, rupanya dirasakan pula oleh orang-orang di sekitar rumah mereka. Api yang tak berhati itu membakar rumah yang berderet di kompleks itu. Semua orang panik, berusaha menyelamatkan keluarganya. Tak dipikirkan barang-barang berharga yang dimakan oleh api, karena keluarga mereka lebih berharga dari apapun.
Ketika api mulai mereda atas pemadam kebakaran yang memang tak datang tepat waktu, sayup-sayup suara isak tangis terdengar di dalam rumah yang hanya tinggal puing-puing. Beberapa warga berusaha masuk dan menyelamatkan seorang anak kecil yang menangis di sudut ruangan terlindung oleh meja kayu yang kuat. Namun, para warga terlambat menyelamatkan orang tuanya yang sudah penuh dengan luka bakar.
Tragedi yang terjadi di kompleks perumahan itu, rupanya berasal dari salah satu rumah warga karena tabung gas yang meledak. Karena angin malam yang sangat besar, menyebabkan api cepat menjalar menghabiskan beberapa rumah di sekitarnya. Sudah menjadi takdir, ternyata rumah gadis itu tepat di samping rumah warga yang menjadi sumber datangnya api.
* * *
Lima tahun telah berlalu, namun ingatan tentang kejadian di malam yang mencekam itu tak pernah hilang. Dinda berusaha untuk hidup meski dengan keadaan payah. Ia berniat dalam hatinya bahwa selama ia masih bernafas, ia akan memberikan yang terbaik untuk Sang Pencipta dan orang-orang yang dicintainya.
Hidup di panti asuhan memang tak mudah. Terlebih ketika panti tempatnya tinggal tak memiliki donatur tetap, sehingga anak-anak di sana harus bekerja mencari uang. Begitu pula dengan Dinda, setiap harinya ia bekerja sebagai penjual koran di jalanan dari pagi hingga petang. Meski berat, namun ia tak pernah mengeluh, karena ibu panti yang tinggal bersama anak-anak yatim piatu di sana selalu memberikan motivasi.
“Hidup itu hanya sementara, tak apa sengsara di dunia yang penting bahagia di akhirat. Tugas kita adalah beramal sebanyak-banyaknya. Meski tak ada uang, amal bisa dilakukan dengan apapun. Niatkan semuanya untuk ibadah, Insya Allah akan ada keberkahan pada setiap apapun yang kita kerjakan,” ucap ibu panti yang sudah paruh baya usai solat berjamaah bersama anak-anak panti. Dinda tahu betul karakter ibu panti yang tak ingin mengemis pada orang-orang untuk membiayai panti asuhan. Ia telah mengajarkan untuk berjuang mencari rizki yang halal dengan keringat sendiri.
Meski begitu, melihat kondisi anak-anak panti di sana, Dinda tidak tinggal diam. Ia memiliki mimpi agar anak-anak itu dapat meraih cita-cita mereka. Ia yakin, masa depan mereka sangat cerah. Mereka memliki hak untuk memperoleh pendidikan dan hidup layak. Mimpinya itu bukan sekedar mimpi saja, namun ia berusaha untuk mewujudkannya.
Dinda memang anak yang cerdas, sejak duduk di bangku sekolah dasar dulu, ia selalu mendapat ranking pertama. Walaupun kini ia tak melanjutkan sekolah, namun wawasan Dinda sangat luas. Jelas saja, setiap hari ia melahap berita dan informasi dari koran-koran yang dijualnya. Mulai berita dalam negeri sampai mancanegara. Topik yang paling dia minati adalah seputar dunia pendidikan. Sampai suatu saat ia berinisiatif untuk menulis surat kepada Menteri Pendidikan, mengetuk pintu hatinya agar dapat membantu anak-anak di Panti Asuhan.
Awalnya ia hanya mengirimkan surat satu kali dalam sebulan. Namun, karena tak kunjung ada balasan, akhirnya ia mengirim surat setiap minggu bahkan setiap hari. Ia berharap menteri pendidikan dapat membaca surat-suratnya dan mengubah wajah dunia pendidikan di negerinya.
Suatu hari, saat pulang bekerja pada senja yang indah, ia melihat ada sebuah mobil bagus berhenti di halaman panti. Ibu panti menyambut kedatangan beberapa orang berpakaian sangat rapi dengan ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ucap ibu panti setelah menjawab salam dari mereka.
“Kami mencari anak yang bernama Adinda Purnama. Apakah betul dia salah satu anak asuh di panti ini?” Ucap salah seorang di antara mereka yang membawa sebuah map.
“Iya betul, Dinda tinggal di sini. Ada apa ya?” ucap ibu panti agak khawatir.
“Kami mencarinya, bisa tolong panggilkan dia kemari?” pinta orang itu lagi. Tak lama Dinda datang ditemani ibu panti.
“Nak, apa benar kamu yang mengirim surat kepada Bapak Menteri Pendidikan setiap hari?” tanyanya lagi. Dinda menjawab dengan anggukan.
“Kami dari Dinas Pendidikan Kota mendapat amanat dari Bapak Menteri untuk menyerahkan surat balasan ini untukmu,” ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop putih berisi tulisan tangan dari Menteri Pendidikan.
“Alhamdulillah... Ternyata Bapak Menteri membaca surat-suratku, Terima kasih Pak telah mengantarkan ini untukku,” ucap Dinda dengan senyum yang mengembang.
“Iya Nak, kami juga membawa bantuan berupa seragam sekolah, buku-buku, serta beasiswa pendidikan untuk anak-anak di sini. Sekarang kalian dapat bersekolah dan meraih cita-cita setinggi langit,” ucap bapak itu ramah.
Ibu panti yang berada di samping Dinda menangis terharu dan bangga pada anak asuhnya itu. Begitu pula dengan Dinda, akhirnya mimpinya akan segera terwujud. Ia yakin bahwa dengan kesungguhan, usaha yang kuat, serta doa yang tulus semua dapat diraih. Di dalam hatinya ia berdoa, semoga apapun amal kebaikan yang ia kerjakan, pahalanya dapat mengalir untuk kedua orang tuanya hingga ia dapat berkumpul kembali di surga bersama mereka yang ia cintai karena Allah.