Hore Aku Pakai Jilbab!!!
19 February 2015
Edit
“Bunda yaa, Bunda kan ngga pernah nolak keinginanku!” rayu Dinda agak merengek.
“Tapi sayang, ini tuh beda, pokoknya sekali tidak tetap tidak!” balas Bunda tegas sambil membuka halaman majalah yang sedari tadi dibacanya. “Yah…Bunda kok gitu!” Dinda mulai putus asa. Suasana di ruang keluarga itu hening sesaat, sampai akhirnya ayah pulang kerja.
“Aduh-aduh ada apa nih, kok serius amat?” Tanya ayah tiba-tiba.
“Ini nih, Dinda minta yang ngga-ngga,” jawab Bunda segera sebelum Dinda pindah merengek pada ayahnya. “Wah minta apaan sih Nda? Kok bunda sampai kesal begi…?” pertanyaan ayah terpotong. “Iya nih, aku juga ngga tau kok Bunda kali ini ngga setuju sih ama keinginan Dinda,” jawabnya segera.
“Gini ayah…, aku merasa ada yang kurang sama diriku ini yang sebenarnya teman-temanku sudah memilikinya, ngga tau kenapa aku pengen…banget kayak mereka,” jelas Dinda berbasa-basi.
“Apa itu?” Tanya ayahnya penasaran.
“Sebenarnya… Dinda pengen pakai…pakai…pakai…!” ucapannya tidak diteruskan sampai akhirnya Bundanyalah yang jawab.
“Pakai jilbab!”
Ucapan bunda yang hanya beberapa kata itu dapat membuat ayahnya kaget. “Hah!!! Apa itu benar
Dinda?!” Tanya ayahnya meyakinkan dengan nada agak tinggi. Dinda yang tidak berani mengangkat wajahnya hanya bisa mengangguk saja.
“Kalau yang itu, ayah setuju dengan Bunda!” kata ayahnya tegas. “Tapi kan, itu keinginan Dinda dari dulu, hanya saja keinginan itu baru memuncak sekarang, makanya Dinda berani bilang itu!” Dinda berusaha lebih berani, walaupun sadar uacapannya dapat menyakiti hati kedua orang tuanya.
“Ayah, Bunda, kenapa melarang Dinda pakai jilbab, apakah kalian udah ngga sayang lagi sama Dinda?” Tanya Dinda sambil menunduk sedih.
“Ngga Dinda, sebenarnya kita sayang kok sama Dinda, hanya saja untuk apa pakai jilbab, kamu lebih manis seperti ini, dengan rambutmu yang indah, kan sayang kalau mesti ditutup-tutupi!” Bunda berusaha menenangkan.
“Dinda, apapun yang kamu minta pasti akan kami berikan, tapi tidak dengan jilbab itu,” tambah ayahnya. Sementara Dinda mulai menangis, saat ini dia merasa kedua orangtuanya tidak mengerti akan perasaannya yang benar-benar ingin memakai pakaian muslimah itu.
“Apa salahnya kalau Dinda memakai jilbab? Justru Dinda merasa lebih terlindungi dengan jilbab! Kenapa kalian melarangnya, atau… kalian memang sudah tidak sayang lagi sama Dinda?!” Dinda berlari menuju kamar, menguncinya rapat dan dia mulai menangis di sana. Dia tak menyangka kalau orang tuanya bisa menolak keinginan mulianya.
“Ya Allah, bukalah hati mereka,
“Ayah, Bunda, ketahuilah aku sangat mencintai kalian!”
* * *
“Hai Nda, kenapa hari ini kamu keliatan sedih?” Rahmi teman sebangkunya yang baru datang, menyapa Dinda yang terduduk lemas. Sementara Dinda hanya menggelengkan kepala dan kembali asyik terdiam. Begitu pula saat pelajaran berlangsung. Dinda terlihat tidak semangat belajar.
“Mi, antar aku ke WC yuk, pengen cuci muka nih!” ajak Dinda di tengah pelajaran Bu Diah. Mereka pun berjalan ke luar kelas.
“Mi, boleh ngga aku nanya?”
“Ya, emangnya nanya apaan sih?” Di pinggir lapangan Dinda terdiam sejenak.
“Salah ngga ya, kalau aku membentak orangtuaku karena pengen pakai jilbab kayak kamu, tapi mereka ngga ngizinin?” Tanya Dinda masih sedih.
“Aduh, kalau yang itu jangan nanya ke aku deh, soalnya aku ngga tau, afwan ya!” Dinda merasa kecewa dengan jawaban Rahmi. “Tapi gimana kalau kita nanya sama Pak Ali, dia pasti bisa jawab, soalnya dia kan guru agama!” tambah Rahmi akhirnya. Seketika wajah Dinda terlihat lebih ceria.
“Wah betul juga ya, yuk kita pergi ke kantor buat nyari Pak Ali!” ajak Dinda semangat. Tetapi Rahmi segera mencegahnya. “Kamu ini, kita kan lagi belajar, masa mau bolos pelajaran Bahasa Indonesia sih, ntar deh kita nanyanya pulang sekolah aja!”
“Oh iya, lagian Pak Ali juga lagi ngajar kan, ngga mungkin kita ganggu dia, yuk kita masuk ke kelas lagi!” ucap Dinda akhirnya.
“Lho Din, katanya kamu mau ke WC?” Tanya Rahmi bingung. “Ngga jadi!!!” jawab Dinda singkat. Dan mereka pun kembali ke kelas lagi dengan hati senang. Akhirnya Dinda bisa konsentrasi lagi, walaupun dia sudah ngga sabar ingin menemui Pak Ali –salah satu guru idolanya-.
* * *
“Jadi, gimana dong Pak?”
“Hmm, sebenarnya kamu ngga salah kok, keinginan kamu memakai jilbab itu adalah hal yang baik, tetapi…!” Pak Ali berhenti sejenak.
“Tapi apa Pak?” Tanya Dinda penasaran.
“Tapi, kamu juga tidak boleh membentak orangtuamu, walau bagaimanapun mereka itu sebenarnya menyayangi kamu!” Dinda dan Rahmi yang saat itu berada di ruang guru terlihat kurang mengerti dengan ucapan Pak Ali tadi.
“Kalau benar mereka sayang sama Dinda, kenapa ngga ngizinin Dinda pakai jilbab?” Tanya Dinda bingung. “Itu namanya ngga sayang kan Pak Ali?”
mendengar pertanyaan kritis dari Dinda itu, Pak Ali hanya tersenyum. “Baiklah, begini saja, kamu harus berdo’a sama Allah supaya membukakan hati ayah bunda kamu untuk mengerti dengan keinginan Dinda yang mulia itu!” ucap Pak Ali akhirnya.
“Wah, kalau berdo’a, Dinda sih ngga pernah kelewat. Tapi, kenapa mereka ngga berubah juga ya?”
“Nah kalau begitu, kamu harus lebih khusuk lagi berdo’anya, juga jangan lupa untuk selalu berbakti kepada oranngtua, karena izinnya Allah adalah izinnya orangtua!” ucap Pak Ali bijak.
“Wah, Pak Ali hebat deh! Makasih ya Pak, insya Allah Dinda akan lebih sabar lagi menghadapi semua ini!” Dinda, Rahmi, dan pak Ali tersenyum lega. Karena Dinda sudah mendapatkan jalan keluar masalahnya.
* * *
Ujian Akhir kelas 3 sudah dekat. Dinda dan semua teman-teman sekelasnya belajar lebih giat lagi supaya mereka lulus dan masuk SMA favorit. Mereka mengikuti les, belajar kelompok, dan mengurangi waktu bermain untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Begitupun dengan Dinda, dia sangat serius mengerjakan soal-soal latihan di ruang belajarnya.
“Waduh, anak Bunda ini rajin sekali!”
“Wush, anak Ayah juga dooong!” Ayah dan bunda mendekati Dinda yang asyik dengan buku pelajaran dan soal-soalnya.
“Ayah, Bunda, do’ain Dinda ya, supaya Dinda bisa melaksanakan ujian dengan baik!” Dinda berbalik menatap kedua orangtuanya yang dibalas dengan belaian lembut di kepala Dinda dan pegangan hangat di tangannya.
“Selalu Nak, ayah sama bunda tidak pernah berhenti mendo’akan anak manisnya yang baik, pintar, dan shalehah ini!” ucap Ayah penuh kehangatan.
“Iya Nak, karena kami sangat sayang sama Dinda!” tambah Bunda.
“Dinda juga sayang sama ayah sama bunda juga!” balas Dinda sambil merangkul ayah bundanya. Suasana di ruangan itu sangat haru, hingga tidak terasa ke tiga orang itu meneteskan air mata.
‘Ya Allah, berikanlah kebahagian kepada keluaga hamba!’ ucap Dinda dalam hati dengan seulas senyuman bahagia dan penuh pengharapan.
* * *
Akhirnya ujian akhir sudah terlaksana dengan lancar. Seluruh siswa menjawab soal dengan teliti dan yakin akan kelulusan.
Di luar kelas, ayah dan bunda sudah menunggu, mereka terlihat bahagia karena mengetahui kalau Dinda lulus dengan nilai yang membanggakan.
“Sayang, ini hadiah dari kami karena kamu sudah berhasil,” Bunda memberikan sebuah kado untuk Dinda. “Wah…, apa nih?” dengan semangat dia membukanya. Dan….
“Ini… Jilbab? Buat Dinda?” tanyanya terkejut setengah ngga percaya kalau mereka menghadiahi jilbab untuknya. Ayah dan bunda mengangguk diikuti seulas senyuman tulus.
“Alhamdulillah!!!”
Saat ini Dinda benar-benar telah merasakan keagungan Allah SWT -Sang pemilik hati- yang telah membuka hati ayah dan bunda.
Segera Dinda memakai jilbab itu lalu merangkul mereka. Semua yang melihat hal menakjubkan itu termasuk Rahmi dan Pak Ali tersenyum bahagia dan mengucap syukur.
“Hei, gimana? Dinda cantik ngga pake jilbab ini?” ucapnya sama teman-teman sembari mengedip-ngedipkan sebelah matanya dan berputar kegirangan.
“Hore….! Aku Pakai jilbab!!!”
Yang pasti, dengan jilbabnya, dia terlihat lebih cantik. Dalam hati dia berniat untuk selalu memakai perhiasan berharganya itu.
“Insya Allah!”
* * *
“Tapi sayang, ini tuh beda, pokoknya sekali tidak tetap tidak!” balas Bunda tegas sambil membuka halaman majalah yang sedari tadi dibacanya. “Yah…Bunda kok gitu!” Dinda mulai putus asa. Suasana di ruang keluarga itu hening sesaat, sampai akhirnya ayah pulang kerja.
“Aduh-aduh ada apa nih, kok serius amat?” Tanya ayah tiba-tiba.
“Ini nih, Dinda minta yang ngga-ngga,” jawab Bunda segera sebelum Dinda pindah merengek pada ayahnya. “Wah minta apaan sih Nda? Kok bunda sampai kesal begi…?” pertanyaan ayah terpotong. “Iya nih, aku juga ngga tau kok Bunda kali ini ngga setuju sih ama keinginan Dinda,” jawabnya segera.
“Gini ayah…, aku merasa ada yang kurang sama diriku ini yang sebenarnya teman-temanku sudah memilikinya, ngga tau kenapa aku pengen…banget kayak mereka,” jelas Dinda berbasa-basi.
“Apa itu?” Tanya ayahnya penasaran.
“Sebenarnya… Dinda pengen pakai…pakai…pakai…!” ucapannya tidak diteruskan sampai akhirnya Bundanyalah yang jawab.
“Pakai jilbab!”
Ucapan bunda yang hanya beberapa kata itu dapat membuat ayahnya kaget. “Hah!!! Apa itu benar
Dinda?!” Tanya ayahnya meyakinkan dengan nada agak tinggi. Dinda yang tidak berani mengangkat wajahnya hanya bisa mengangguk saja.
“Kalau yang itu, ayah setuju dengan Bunda!” kata ayahnya tegas. “Tapi kan, itu keinginan Dinda dari dulu, hanya saja keinginan itu baru memuncak sekarang, makanya Dinda berani bilang itu!” Dinda berusaha lebih berani, walaupun sadar uacapannya dapat menyakiti hati kedua orang tuanya.
“Ayah, Bunda, kenapa melarang Dinda pakai jilbab, apakah kalian udah ngga sayang lagi sama Dinda?” Tanya Dinda sambil menunduk sedih.
“Ngga Dinda, sebenarnya kita sayang kok sama Dinda, hanya saja untuk apa pakai jilbab, kamu lebih manis seperti ini, dengan rambutmu yang indah, kan sayang kalau mesti ditutup-tutupi!” Bunda berusaha menenangkan.
“Dinda, apapun yang kamu minta pasti akan kami berikan, tapi tidak dengan jilbab itu,” tambah ayahnya. Sementara Dinda mulai menangis, saat ini dia merasa kedua orangtuanya tidak mengerti akan perasaannya yang benar-benar ingin memakai pakaian muslimah itu.
“Apa salahnya kalau Dinda memakai jilbab? Justru Dinda merasa lebih terlindungi dengan jilbab! Kenapa kalian melarangnya, atau… kalian memang sudah tidak sayang lagi sama Dinda?!” Dinda berlari menuju kamar, menguncinya rapat dan dia mulai menangis di sana. Dia tak menyangka kalau orang tuanya bisa menolak keinginan mulianya.
“Ya Allah, bukalah hati mereka,
“Ayah, Bunda, ketahuilah aku sangat mencintai kalian!”
* * *
“Hai Nda, kenapa hari ini kamu keliatan sedih?” Rahmi teman sebangkunya yang baru datang, menyapa Dinda yang terduduk lemas. Sementara Dinda hanya menggelengkan kepala dan kembali asyik terdiam. Begitu pula saat pelajaran berlangsung. Dinda terlihat tidak semangat belajar.
“Mi, antar aku ke WC yuk, pengen cuci muka nih!” ajak Dinda di tengah pelajaran Bu Diah. Mereka pun berjalan ke luar kelas.
“Mi, boleh ngga aku nanya?”
“Ya, emangnya nanya apaan sih?” Di pinggir lapangan Dinda terdiam sejenak.
“Salah ngga ya, kalau aku membentak orangtuaku karena pengen pakai jilbab kayak kamu, tapi mereka ngga ngizinin?” Tanya Dinda masih sedih.
“Aduh, kalau yang itu jangan nanya ke aku deh, soalnya aku ngga tau, afwan ya!” Dinda merasa kecewa dengan jawaban Rahmi. “Tapi gimana kalau kita nanya sama Pak Ali, dia pasti bisa jawab, soalnya dia kan guru agama!” tambah Rahmi akhirnya. Seketika wajah Dinda terlihat lebih ceria.
“Wah betul juga ya, yuk kita pergi ke kantor buat nyari Pak Ali!” ajak Dinda semangat. Tetapi Rahmi segera mencegahnya. “Kamu ini, kita kan lagi belajar, masa mau bolos pelajaran Bahasa Indonesia sih, ntar deh kita nanyanya pulang sekolah aja!”
“Oh iya, lagian Pak Ali juga lagi ngajar kan, ngga mungkin kita ganggu dia, yuk kita masuk ke kelas lagi!” ucap Dinda akhirnya.
“Lho Din, katanya kamu mau ke WC?” Tanya Rahmi bingung. “Ngga jadi!!!” jawab Dinda singkat. Dan mereka pun kembali ke kelas lagi dengan hati senang. Akhirnya Dinda bisa konsentrasi lagi, walaupun dia sudah ngga sabar ingin menemui Pak Ali –salah satu guru idolanya-.
* * *
“Jadi, gimana dong Pak?”
“Hmm, sebenarnya kamu ngga salah kok, keinginan kamu memakai jilbab itu adalah hal yang baik, tetapi…!” Pak Ali berhenti sejenak.
“Tapi apa Pak?” Tanya Dinda penasaran.
“Tapi, kamu juga tidak boleh membentak orangtuamu, walau bagaimanapun mereka itu sebenarnya menyayangi kamu!” Dinda dan Rahmi yang saat itu berada di ruang guru terlihat kurang mengerti dengan ucapan Pak Ali tadi.
“Kalau benar mereka sayang sama Dinda, kenapa ngga ngizinin Dinda pakai jilbab?” Tanya Dinda bingung. “Itu namanya ngga sayang kan Pak Ali?”
mendengar pertanyaan kritis dari Dinda itu, Pak Ali hanya tersenyum. “Baiklah, begini saja, kamu harus berdo’a sama Allah supaya membukakan hati ayah bunda kamu untuk mengerti dengan keinginan Dinda yang mulia itu!” ucap Pak Ali akhirnya.
“Wah, kalau berdo’a, Dinda sih ngga pernah kelewat. Tapi, kenapa mereka ngga berubah juga ya?”
“Nah kalau begitu, kamu harus lebih khusuk lagi berdo’anya, juga jangan lupa untuk selalu berbakti kepada oranngtua, karena izinnya Allah adalah izinnya orangtua!” ucap Pak Ali bijak.
“Wah, Pak Ali hebat deh! Makasih ya Pak, insya Allah Dinda akan lebih sabar lagi menghadapi semua ini!” Dinda, Rahmi, dan pak Ali tersenyum lega. Karena Dinda sudah mendapatkan jalan keluar masalahnya.
* * *
Ujian Akhir kelas 3 sudah dekat. Dinda dan semua teman-teman sekelasnya belajar lebih giat lagi supaya mereka lulus dan masuk SMA favorit. Mereka mengikuti les, belajar kelompok, dan mengurangi waktu bermain untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Begitupun dengan Dinda, dia sangat serius mengerjakan soal-soal latihan di ruang belajarnya.
“Waduh, anak Bunda ini rajin sekali!”
“Wush, anak Ayah juga dooong!” Ayah dan bunda mendekati Dinda yang asyik dengan buku pelajaran dan soal-soalnya.
“Ayah, Bunda, do’ain Dinda ya, supaya Dinda bisa melaksanakan ujian dengan baik!” Dinda berbalik menatap kedua orangtuanya yang dibalas dengan belaian lembut di kepala Dinda dan pegangan hangat di tangannya.
“Selalu Nak, ayah sama bunda tidak pernah berhenti mendo’akan anak manisnya yang baik, pintar, dan shalehah ini!” ucap Ayah penuh kehangatan.
“Iya Nak, karena kami sangat sayang sama Dinda!” tambah Bunda.
“Dinda juga sayang sama ayah sama bunda juga!” balas Dinda sambil merangkul ayah bundanya. Suasana di ruangan itu sangat haru, hingga tidak terasa ke tiga orang itu meneteskan air mata.
‘Ya Allah, berikanlah kebahagian kepada keluaga hamba!’ ucap Dinda dalam hati dengan seulas senyuman bahagia dan penuh pengharapan.
* * *
Akhirnya ujian akhir sudah terlaksana dengan lancar. Seluruh siswa menjawab soal dengan teliti dan yakin akan kelulusan.
Di luar kelas, ayah dan bunda sudah menunggu, mereka terlihat bahagia karena mengetahui kalau Dinda lulus dengan nilai yang membanggakan.
“Sayang, ini hadiah dari kami karena kamu sudah berhasil,” Bunda memberikan sebuah kado untuk Dinda. “Wah…, apa nih?” dengan semangat dia membukanya. Dan….
“Ini… Jilbab? Buat Dinda?” tanyanya terkejut setengah ngga percaya kalau mereka menghadiahi jilbab untuknya. Ayah dan bunda mengangguk diikuti seulas senyuman tulus.
“Alhamdulillah!!!”
Saat ini Dinda benar-benar telah merasakan keagungan Allah SWT -Sang pemilik hati- yang telah membuka hati ayah dan bunda.
Segera Dinda memakai jilbab itu lalu merangkul mereka. Semua yang melihat hal menakjubkan itu termasuk Rahmi dan Pak Ali tersenyum bahagia dan mengucap syukur.
“Hei, gimana? Dinda cantik ngga pake jilbab ini?” ucapnya sama teman-teman sembari mengedip-ngedipkan sebelah matanya dan berputar kegirangan.
“Hore….! Aku Pakai jilbab!!!”
Yang pasti, dengan jilbabnya, dia terlihat lebih cantik. Dalam hati dia berniat untuk selalu memakai perhiasan berharganya itu.
“Insya Allah!”
* * *